STRATEGI.ID - Ide menjadikan keraton-keraton dan kerajaan nusantara sebagai "pusat-pusat" kebudayaan dan tradisi di republik tercinta, menarik untuk dikaji lebih jauh, menyusul kemungkinan terpautnya hal itu dengan pengandaian genial Bung Karno: Pancasila sebagai Weltanschauung.
Sejak awal, keraton atau kerajaan nusantara bukan hanya sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi, tapi juga "penjaga" tradisi dan kebudayaan leluhur yang terwariskan dari generasi ke generasi.
Bayang-bayang pekat kebangkitan "feodalisme" di balik gagasan revitalisasi keraton dan kerajaan nusantara, memang tampak sangat kuat aromanya pada masa rezim politik Orba.
Baca Juga: Menkeu RI dan Jajaran Sangat Merasa Kehilangan Teman
Rezim ini mendaku, kolonialisme Belanda sebagai "bapak buah" feodalisme "sukses" sekian ratus tahun mencengkeramkan kuku-kukunya di jantung ibu pertiwi justru karena "kongsi abadi" dua sejoli itu. Politik "pecah belah" dan "adu domba" (devide et empira) yang digencarkan kolonialisme Belanda, menciptakan benturan dan skisma keras di antara anak bangsa yang tak terhindarkan.
Dalam kebijakan ini, kolonialisme Belanda menjadikan keraton-keraton dan kerajaan sebagai "perpanjangan tangan" kekuasaannya. Sementara, kerajaan dan keraton, juga para patriot kesatria yang tak setuju dan melakukan "perlawanan" terhadap kebijakan politik "pecah belah" Kolonial itu, dilumpuhkan.
Sejak itu, stigma yang memosisikan keraton dan kerajaan nusantara sebagai "kaki tangan" kolonialisme demikian kuat tertanam dalam metakognisi masyarakat nusantara.
Terlepas dari konstruksi dan posisi peyoratif keraton dan kerajaan dalam teropong rezim politik Orba, kita coba mengurai anggitan "feodalisme" secara lebih pradah, konseptual, dan dari latar sosio-historis dan kultur nusantara yang otentik.
Baca Juga: Doa Presiden RI Untuk Tjahjo Kumolo
Dalam tradisi kekuasaan politik-ekonomi, kerajaan-kerajaan di Eropa, khususnya Inggris, Prancis, Spanyol, dan Germania, sesungguhnya mereka tidak mengenal "feodalisme" sebagai bagian dari struktur kebangsawanan, kecuali dari sayap "luar" gen aristokrasi.
Artikel Terkait
Presiden Pertama Sowan ke Keraton Yogya Setelah 69 Tahun
Sowan ke Keraton, Presiden Santap Jajanan Khas Yogyakarta
Sultanah Jawa Pertama dan Perempuan dalam Keraton
Tahukah Anda Sekarang Gibran Sudah Punya Gelar Keraton Solo
Kualitas Kepariwisataan & Kebudayaan Bagi Agenda Pembangunan & Pemajuan Kepni