• Selasa, 26 September 2023

Preambule UUD 1945, Declaration of Indonesian Independence Page 6

- Kamis, 30 Agustus 2018 | 14:42 WIB
Preambule UUD 1945, Declaration of Indonesian Independence
Preambule UUD 1945, Declaration of Indonesian Independence

Strategi.id - Preambule UUD 1945, Declaration of Indonesian Independence 

Kalam Penutup

Tak bisa dipungkiri bahwa proses panjang perjalanan bangsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 secara dialektis memperlihatkan betapa sesungguhnya penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh kepentingan asing masih berlangsung hingga saat ini dengan berbagai bentuk variannya sesuai dengan kemajuan teknologi dan perkembangan jaman. Semangat penguasaan dan eksploitasi dibungkus rapi dan indah dengan bertopeng jargon-jargon dan idiom-idiom yang seolah suci tetapi dipenuhi hidden agenda penguasaan dunia, The New World Order.

Sekalipun nampaknya telah terjadi perubahan geopolitik dunia baik ekonomi maupun politik internasional paska runtuhnya Uni Sovyet (balkanisasi) akan tetapi arah perkembangan sejarah peradaban umat manusia justru mengalami penurunan dan kemunduran hingga mencapai titik nadirnya. Pertarungan ideologi antara kapitalisme dengan komunisme pun telah berakhir. Dunia kemudian digiring ke arah agenda besar bernama Globalisasi dengan mengangkat lima isu utama : Human Rights, Gender, Democracy, Economic Liberalism - Free Trade dan Clean Government (anti KKN) yang dicanangkan oleh World Economic Forum di Davos yang menurut Samuel Huntington, “Indeed, the World Economic Forum’s main purpose is to function as a socializing institution for the emerging global elite, globalization’s ‘Mafiocracy’ of bankers, industrialists, oligarchs, technocrats and politicians. They promote common ideas, and serve common interests: their own.” Lebih jauh Huntington menambahkan, “[The Davos Class] have little need for national loyalty, view national boundaries as obstacles that are thankfully vanishing, and see national governments as residues from the past whose only useful function is to facilitate the elite’s global operations.

Baca Juga : Ini Debat Idol, Bukan Diskusi Kelompencapir

Kedaulatan politik dari setiap pemerintahan Negara direduksi melalui penciptaan Regional Economic yang meniscayakan terjadinya lalu lintas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja antar Negara di suatu kawasan regional secara bebas tanpa hambatan pajak dan cukai. Dengan kata lain, penciptaan Regional Economic dalam jangka panjang diarahkan pada terciptanya United State of e-Global System dibawah kendali Cyber Capitalism.

Di sisi lain, ledakan populasi penduduk dunia yang tidak diiringi dengan pertumbuhan luas daratan seringkali kemudian dipelesetkan dengan istilah bonus demografi yang terkesan ramah dan manis tetapi sejatinya justru menyimpan potensi persaingan yang rawan dengan konflik kepentingan yang semakin sengit bahkan kejam untuk menguasai kawasan-kawasan yang berkelimpahan dengan kesuburan dan kekayaan alam demi penguasaan atas sumber-sumber pangan, air dan energi yang menjadi kebutuhan utama manusia.

Jika di jaman dulu kawasan khatulistiwa sudah jadi ajang perebutan atas hasil rempah dan palawija oleh bangsa-bangsa non-khatulistiwa, tentu di saat ini dengan munculnya “bonus demografi”, kawasan khatulistiwa yang subur akan vegetasi dan kaya akan mineral tambang akan semakin menjadi incaran dari bangsa-bangsa yang hidup di kawasan non-khatulistiwa untuk memenuhi kebutuhan hidup atas pangan, air dan energi. Lebih dari itu, keistimewaan dan keunggulan dari Indonesia yang membuatnya lebih sexy dibanding Negara lain yang terletak di khatulistiwa selain karena letaknya sebagai Negara kepulauan yang memiliki kekayaan laut dan berada di jalur perhubungan laut antar benua dan antar samudera (Sea Lane of Communication) juga terletak di kawasan Ring of Fire yang sangat keberlimpahan akan kekayaan tambang mineral dan energi. Aktifitas vulkanik deretan gunung berapi yang dikenal sebagai Ring of Fire merupakan dapur pengolahan dan penghasil kekayaan mineral dan energi terbesar di dunia.

Pertarungan dan perebutan hegemoni di antara kepentingan asing untuk memenangkan penguasaan atas Indonesia masih terus berlangsung walau dalam rupa bentuk dan tampilan yang berbeda. Perkembangan dan kemajuan teknologi berperan besar dalam menentukan strategi perang yang digunakan. Dengan sengitnya rivalitas memperebutkan ruang hidup yang serba terbatas, “bonus demografi” bukanlah anugerah melainkan musibah kemanusiaan yang memicu terjadinya peperangan untuk berebut menjadi survival of the fittest. Lahan yang subur dan kaya sepanjang khatulistiwa tak mungkin mampu mencukupi pasokan kebutuhan pangan, air dan energi buat mereka yang disebut sebagai bonus demografi.

Peperangan yang terjadi antara “tuan rumah” dengan para “tamu pendatang”, antara mereka yang tinggal di khatulistiwa dengan mereka yang berasal dari non-khatulistiwa berlangsung dengan tidak seimbang, peperangan asimetris (asymmetric warfare). Peperangan yang menggunakan seluruh sektor kehidupan manusia sebagai medan perangnya tanpa lagi melihat sipil ataupun militer. Peperangan tertutup tetapi menghalalkan segala metodologi dan teknologi apapun untuk digunakan mengalahkan musuh yang kemudian dikenal sebagai Proxy War.

Baca Juga : Ojo Nokohi Wong!

Peperangan yang tidak lagi dilakukan antar Negara atas kepentingan ideologis apapun melainkan antara mereka yang ingin mengambil alih ruang hidup melawan mereka yang akan diusir dari ruang hidupnya. Peperangan yang dilakukan untuk memastikan sekelompok kecil orang berjaya memenangkan ruang hidup bagi dirinya sementara sekelompok besar yang lain binasa karena saling memangsa satu dengan yang lain. Penindasan dan penjajahan jenis baru inilah yang saat ini saya sebut sebagai Post Modern Kolonialisme-Imperialisme (POSMOKOLIM).

Situasi peperangan asimetris melalui proxy war yang saat ini sedang berlangsung memang membuat sekelumit paparan di atas terlihat seperti cerita hantu di siang bolong bagi mereka yang terperangkap di dalam candu ilusi kehidupan yang memabukkan dan melenakan. Banyak anak bangsa, anak negeri ini yang tak menyadari bahwa nasib masa depan mereka berikut dengan keturunannya tengah berada dalam serangan bahaya perang asimetrik.

Tapi bagi mereka yang mewarisi darah juang para leluhurnya akan menerima panggilan sejarah untuk tak pernah berhenti berjuang mengubah nasib kaumnya bersama-sama bergotongroyong mengembalikan arah gerak sejarah negeri ini kepada cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai mana yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Bagi mereka hanya berlaku satu semboyan, “BANGKIT MELAWAN DEMI MASA DEPAN ATAU DIAM LALU MATI TERGILAS RODA SEJARAH!

 

AKHIR WAKTU


Dan ketika bumi semakin tua dan rapuh


Di tempat manusia berpijak


Tak ada lagi rasa


Tak ada lagi karsa


Tak ada lagi cipta


Para utusan diam membisu


Tak ada lagi masa


Tungku telah padam


Raga telah sirna


Desah napas terakhir


Wajah tak bermuka




Penulis oleh Mahendra Dandhi Uttunggadewa mantan Aktivis FKSMJ'98 dan  aktif sebagai Pengamat budaya

*) Berita ini terdiri dari 6 bagian, di lakukan penyuntingan dikarenakan artikel yang terlalu panjang.

Baca halaman sebelumnya di Preambule UUD 1945, Declaration of Indonesian Independence page 5 

Editor: Bernadetha Tiara

Tags

Terkini

Petugas Partai Vs Pemilik Partai

Senin, 25 September 2023 | 22:58 WIB

Ekonomi Digital ASEAN dengan Rasa Budaya Indonesia

Senin, 11 September 2023 | 15:41 WIB

Ideologi Relawan Politik

Minggu, 20 Agustus 2023 | 21:17 WIB
X